Islam adalah ajaran yang membentuk kepribadian Muslim secara utuh, mencakup nilai-nilai iman, takwa, kejujuran, keadilan, kesabaran, kecerdasan, kedisiplinan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab. Melalui pendidikan agama Islam, diupayakan internalisasi nilai-nilai tersebut agar mampu menciptakan individu Muslim yang memiliki karakter unggul.
Saat ini, kehidupan manusia dipengaruhi oleh perkembangan informasi, globalisasi, demokrasi, dan hak asasi manusia, serta tantangan seperti meningkatnya jumlah penduduk dan terbatasnya sumber daya ekonomi. Situasi ini menciptakan persaingan yang ketat, termasuk di bidang pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam, yang diharapkan dapat menjawab tantangan masa depan.
Pembentukan karakter dalam sistem pendidikan mencakup proses mengintegrasikan nilai-nilai perilaku ke dalam diri siswa, yang dilakukan secara bertahap dan saling berkaitan antara pengetahuan, sikap, dan tindakan. Karakter ini meliputi hubungan siswa dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, bangsa, dan negara.
Guru pendidikan agama Islam memiliki peran penting dalam membentuk karakter siswa. Guru agama menjadi figur teladan yang ditiru oleh siswa dan memiliki tanggung jawab besar dalam menerapkan nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah. Dalam perannya, guru tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebaikan yang didasarkan pada ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk membentuk karakter siswa, guru pendidikan agama Islam perlu mengenal siswanya secara mendalam. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan perilaku dan pemahaman siswa sejak awal proses pembelajaran, mengetahui kemampuan serta pengalaman mereka, dan memahami konteks nyata yang dihadapi siswa. Pemahaman ini menjadi dasar dalam merancang metode dan tujuan pembelajaran.
Sebagai pendidik, guru memiliki tanggung jawab besar untuk merealisasikan nilai-nilai spiritual, emosional, moral, sosial, dan intelektual dalam pembelajaran. Guru harus mandiri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran dan pengembangan kompetensi siswa, serta mampu bertindak secara tepat dan bijaksana sesuai kebutuhan siswa dan kondisi lingkungan.
Dalam pembelajaran, guru pendidikan agama Islam berusaha menanamkan nilai-nilai moral dan tanggung jawab, misalnya dengan memberikan motivasi kepada siswa, mengajarkan pentingnya kebersihan lingkungan, memberikan konsekuensi atas keterlambatan, serta mendorong kerjasama dan kepemimpinan dalam tugas kelompok. Guru juga memberikan teladan dalam berbagai aspek, seperti datang tepat waktu, berpakaian rapi, dan menjaga tingkah laku yang sopan.
Selain itu, guru berupaya menciptakan suasana pembelajaran yang santai dan menyenangkan, namun tetap menanamkan karakter baik. Guru berperan sebagai figur yang dihormati dan diikuti, yang mampu memberikan contoh nyata kepada siswa, baik dalam pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Dengan cara ini, guru pendidikan agama Islam menjadi ujung tombak keberhasilan pembentukan karakter siswa, menciptakan generasi yang berakhlak mulia, cerdas, dan bertanggung jawab.
Catcalling atau ejekan seksual di tempat umum sudah menjadi sesuatu yang familiar saat ini. Hal tersebut telah menjadi masalah yang serius dan kompleks di masyarakat. Tindakan ini jelas-jelas melanggar kehormatan dan privasi orang lain. Catcalling melibatkan penggunaan kata-kata yang tidak pantas dan berunsur seksual, seperti "Cantik banget sih mau kemana", "Dek, mau abang temani gak?", "Wuih gede banget", "Sendiri aja neng", dan masih banyak lagi. Entah apa yang ada di pikiran pelaku, mungkin merasa bangga dan keren padahal hal tersebut hanya membuatnya menunjukkan kualitas dirinya yang rendah. Karena kalimat-kalimat tersebut tidak pantas dilontarkan dan tentunya hal itu juga membuat korban merasa risih.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual verbal. Efek negatifnya yaitu, korban akan kehilangan kepercayaan diri bahkan hingga trauma. Terlepas dari niat pelaku, tindakan catcalling tetap merupakan bentuk pelecehan yang tidak dapat dibenarkan. Korban catcalling tidak perlu merasa bersalah atau malu karena tindakan tersebut sepenuhnya adalah kesalahan pelaku. Mirisnya, mahasiswa juga terlibat dalam melakukan catcalling. Padahal seharusnya mahasiswa merupakanorang yang terpelajar dan dapat memberikan contoh kepada masyarakat. Maka, bagaimana dengan mereka yang tidak berpendidikan?
Di Belanda, catcalling terhitung sebagai perbuatan kriminal dan pelaku bisa dikenakan denda sebesar 8.200 Euro (Sekitar Rp. 130 juta) atau dipidana tiga bulan penjara. Sementara itu di Prancis, melarang laki-laki untuk melakukan catcalling. Catcalling adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas keamanan dan privasi. Catcalling bukan hanya melanggar norma-norma tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar akhlakul karimah.
Islam telah mengajarkan kepada umatnya untuk memiliki akhlakul karimah atau akhlak yang baik. Dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai prinsip, maka tindakan catcalling tidak akan ada di dunia ini. Akhlakul karimah bukan hanya tentang agama, tetapi tentang kemanusiaan. Karena pada dasarnya, konsep akhlakul karimah mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti hubungan dengan Allah SWT dengan iman yang kuat dan taat beribadah, hubungan dengan diri sendiri dengan menjaga kebersihan jiwa dan raga, serta hubungan dengan sesama manusia dengan saling menghargai dan menghindari perbuatan yang menyakiti hati orang lain.
Oleh karena itu, salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi catcalling adalah konsep akhlakul karimah, yang menekankan pentingnya perilaku yang baik, sopan, dan santun dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Mari jadikan prinsip ini sebagai pedoman dalam berinteraksi dengan siapapun, sehingga terciptalah lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua.
Karena catcalling bukan pujian, melainkan pelecehan seksual yang merendahkan martabat perempuan.
Home Profil Informasi Bantuan Program Unggulan Siaga Lintas DAI Cendikia Space PK Online Silaba PAI
Artikel
Versi Audio
Islam Sebagai Agama, Bukan Identitas
Raden Wahid Ibrahim
Kontributor
Senin, 18 Maret 2024 | 11:36 WIB
Oleh : Sudarjat,M.Pd. (Guru PAI SMA N 1 Cijeruk, Tim Pusat PPKB GPAI)
Agama berasal dari bahasa Sansekerta, a dan gama, artinya tidak kacau. Dari arti bahasa tersebut dapat dimaknai bahwa agama adalah penataan atau tata aturan agar rapi dan tidak kacau. Menurut etimologi dalam kamus besar bahasa Indonesia agama didefinisikan sebagai sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan amtara manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya. Dalam tradisi islam, agama disebut dengan “ad-din” yang dapat diartikan sebagai tatanan atau aturan hidup.
Berdasar pada definisi tersebut, maka agama sebenarnya bukan hanya tentang identitas, tetapi lebih kepada tata aturan hidup sesuai dengan cita-cita yang mengajarkannya. Agama lahir dari kebutuhan manusia yang bersifat sosial dan tidak bisa hidup sendiri. Diperlukan kebutuhan akan sebuah aturan untuk dijalankan secara bersama-sama sehingga terwujud kehidupan bahagia dan harmonis.
Kepercayaan manusia terhadap tuhannya akan melahirkan sistem aturan yang sesuai dengan keyakinannya. Hal ini tergambar dalam perbedaan ritual dari masing-masing agama. Sebuah agama akan selalu berisi tentang tiga hal penting, yaitu keyakinan (keimanan), ritual (syariat), dan akhlak (ihsan/kebajikan). Dalam Islam tergambar dalam hadits tentang agama yang menyatukan 3 hal sebagai rukun agama, iman, islam, dan ihsan. Iman sebagai sebuah keyakinan, Islam sebagai sebuah pembinaan, dan ihsan sebagai sebuah tujuan.
Islam menurut bahasa artinya pasrah atau berserah diri. Islam sebagai sebuah agama adalah tata aturan untuk menjadikan pemeluknya pasrah diatur oleh Allah dan rasulNya. Maka dari itu, seorang muslim berarti adalah orang yang hidupnya pasrah diatur oleh Allah dan rasulNya. Setiap gerak langkahnya tegak lurus terhadap aturan Allah dan rasulNya.
Dalam mewujudkan tatanan Islam, rasulullah bersabda, “Islam dibina/dibangun diatas lima hal, yaitu bersyahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan dan berhaji ke baitullah jika mampu”. Hadits inilah yang kemudian menjadi dasar ulama menetapkan rukun islam. Apa arti rukun? Rukun adalah sesuatu yang harus ada, jika tidak ada/tidak terpenuhi salah satunya maka dianggap tidak sah. Oleh karenanya, penetapan hadits ini menjadi rukun sepertinya perlu ditelaah lebih mendalam. Selain membiaskan maksud hadits yang sebenarnya, juga membuat hadits ini tidak memberikan makna apa-apa untuk umat islam.
Sejenak mari kita renungi konstruksi hadits tersebut jika diterjemahkan begini, “Islam dibina di atas lima perkara, yaitu engkau berikrar akan membuktikan bahwa tidak ada ilah/tuhan (yang menjadi sembahan/ditaati) selain Allah/tuhan sejati, dan akan membuktikan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (yang menjadi contoh/tauladan hidup saya), mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke baitullah jika mampu”.
Rukun Islam adalah sebuah metode pembinaan seseorang untuk menjadi Muslim, yaitu seseorang yang memasrahkan hidupnya diatur oleh Allah dan rasulnya. Kelima rukun tersebut bersifat hirarkis.
Untuk menjelaskan tentang lima metode seseorang menjadi muslim, perlu jelas dulu apa definisi muslim. Selama ini kita memahami bahwa muslim adalah seseorang yang mengaku memiliki identitas agama islam. Padahal jika merujuk pada keterangan dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah tidak membeda-bedakan ajaran para rasulNya, bahkan nabi Ibrahim disebutkan Al-Quran sebagai muslim yang hanif. Kehanifannya itulah kemudian yang diingatkan oleh rasulullah Muhammad dalam shalawat ibrahimiyah yang dibaca setiap kali shalat. “Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad, kama shollaita ‘ala Ibrohim wa’ala aali Ibrahim”. Ini menarik untuk dikaji, kenapa rasulullah memilih Ibrahim tidak nabi-nabi yang lain? Itu semua karena kita mengetahui bahwa hanya nabi Ibrahim yang rela menyembelih anaknya untuk dipersembahkan pada Allah.
Islam sebagai agama (din) adalah tatacara hidup seseorang yang pasrah diatur oleh Allah dan rasulNya. Akhirnya seorang muslim berarti adalah seseorang yang memasrahkan hidupnya diatur oleh Allah dan rasulNya. Untuk menjadi seorang muslim, seseorang dilatih dengan lima latihan.
Pertama, syahadat. Berjanji akan membuktikan (menjadi saksi) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang ditaati selain Allah dan akan membuktikan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Selama ini, syahadat yang kita ucapkan seakan-akan tidak memiliki makna apapun ketika meluncur dari mulut. Padahal dahulu kala, seseorang yang sudah mengucapkan syahadat rela mati untuk mempertahankannya. Ini terjadi karena pembiasan makna dari syahadat yang awalnya adalah bai’at masuk Islam menjadi hanya ucapan tanpa kita mengerti apa sebenarnya yang kita ucapkan. Makna syahadat yang menggetarkan ketika kita mengucapkannya adalah “saya akan menjadi saksi (membuktikan) bahwa tidak ada tuhan (yang disembah, diikuti, ditaati, ditakuti) selain Allah, dan saya akan menjadi saksi (membuktikan) bahwa Muhammad adalah utusan Allah (menjadi contoh dalam setiap perilaku saya)
Kedua, shalat. Shalat adalah latihan memasrahkan kepemilikan diri dan waktu untuk siap diatur oleh Allah. Dalam shalat kita melatih diri pasrah dengan aturan Allah dan rasulNya meliputi waktu dan perilaku kita yang terdiri dari gerakan dan ucapan. Waktu, ucapan dan gerakan shalat yang kita lakukan persis sesuai dengan yang dicontohkan, tidak bisa kita ngarang-ngarang sendiri waktunya, ucapannya atau gerakannya. Inilah latihan lavel dua yang merupakan tiang dari agama.
Latihan rutin, semakin pasrah waktu, ucapan, gerakan shalat kita sesuai yang diatur oleh Allah dan rasulnya semakin tegaklah islam (kepasrahan) dalam diri kita. Maka sebenarnya shalat kita menunjukkan seberapa muslim kita. Shalat berjamaah awal waktu adalah proses awal pembinaan kepasrahan kita pada aturan Allah, dilanjutkan dengan pemahaman kita akan setiap gerakan dan bacaan yang penuh dengan simbol dan sastra. Sehingga akhirnya sampailah kita pada posisi assholatu mi’rajul mukminin, shalat adalah mikrajnya orang-orang mukmin, menikmati shalat sebagaimana kisah Ali bin Abi Thalib yang dicabut panah dari punggungnya di waktu shalat, penuh kekhusuan dan kenikmatan.
Ketiga, zakat. Pembinaan tahap selanjutnya adalah memasrahkan kepemilikan kita terhadap harta dengan mengeluarkan zakat. Setelah kita mampu memasrahkan waktu, ucapan dan gerak kita siap diatur Allah, selanjutkan kita membina diri dengan mengeluarkan sesuatu yang sudah kita dapatkan. Ini level lebih berat dibanding shalat, karena harta sudah masuk dalam perangkap milik. Harta kita cari dengan susah payah, lalu Allah bilang keluarkanlah hartamu. Disinilah diuji lagi kepasrahan kita terhadap keakuan dan kepemilikan. Semakin kita terlepas dari keterikatan terhadap kepemilikan, semakin meningkatlah kualitas keislaman kita.
Keempat, puasa ramadhan. Puasa ramadhan adalah ritual/latihan menjadi muslim pada level lebih berat dari zakat. Pada level ini kita menyerahkan jiwa raga untuk ikut aturan Allah dengan puasa. Selama sebulan kita melatih diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks, tidak berbuat maksiat, tidak mendzalimi orang lain dan ditutup dengan mengeluarkan zakat fitrah. Puasa ramadhan melatih jiwa raga kita untuk pasrah dengan aturan, tidak makan sebelum magrib, kita ikuti walaupun terbuka kesempatan untuk berbuka kapan saja, tapi kita bertahan demi menunjukkan ketaatan/kepasrahan kita kepadaNya.
Kelima, Haji. Level selanjutnya adalah haji. Dengan haji kita meninggalkan seluruh kepemilikan kita terhadap duniawi untuk menghadap Allah. Hanya kain ihram tidak berjahit yang dipakai melambangkan kain kafan. Suami, istri, anak, cucu, harta, jabatan, kampung halaman, semua kita tinggalkan untuk menuju Allah. Dalam proses ritualnya pun, sangat menguras tenaga, rela mati di jalan Allah. Maka wajar kemudian rasulullah menyebutkan jika mampu. Ini artinya, jika kalian mampu lepaskan semua selain Allah, itulah haji.
Akhirnya, rukun islam sebagai tirakat/pembinaan/pembiasaan untuk hidup pasrah pada aturan Allah dan rasulNya menjadi indikator kualitas keislaman kita. Semakin kecil peran kita dalam mengatur ritual-ritual tersebut, akan semakin meningkat kualitas keislaman kita. Maka dari sini, jelaslah antara Islam sebagai identitas dan sebagai agama. Semoga Allah mengampuni jika ada tulisan ini yang tidak sesuai dengan harapanNya. Amin.
Iduladha (bahasa Arab: عيد الأضحى) adalah sebuah hari raya dalam agama Islam. Hari ini memperingati peristiwa kurban, yaitu ketika Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan putranya Isma'il sebagai wujud kepatuhan terhadap Allah. Sebelum Ibrahim mengorbankan putranya, Allah menggantikan Ismail dengan domba. Untuk memperingati kejadian ini, hewan ternak disembelih sebagai kurban setiap tahun.
Istidraj (bahasa Arab: الاستدراج, translit. al-Istidraj) adalah istilah dalam Islam yang merujuk pada pemberian kenikmatanduniawi kepada seseorang yang terus-menerus bermaksiat kepada Allah. Istidraj bukanlah bentuk rahmat atau kasih sayang, melainkan cara Allah menunda hukuman kepada mereka yang mengabaikan perintah-Nya, sehingga mereka semakin jauh dalam kelalaian. Istidraj disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits sebagai peringatan bagi umatmanusia agar tidak tertipu oleh kenikmatandunia.
“Iya, tidak ada bagian dari Islam bagi orang-orang yang meninggalkan shalat.”
Al-Miswar berkata,
فَصَلَّى عُمَرُ، وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَماً
“Kemudian ‘Umar pun berdiri dan shalat Subuh, dalam kondisi luka yang meneteskan darah.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 51, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 209)
Allahu Akbar! Betapa besar kedudukan shalat Subuh berjamaah dalam hati sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Sehingga beliau pun sungguh-sungguh menjaganya. Beliau menjaganya dalam kondisi dan waktu apapun, baik itu ketika sedang menghadapi musuh, dalam barisan jihad, dan meskipun beliau dalam kondisi terluka dan masih meneteskan darah.
Lalu, bagaimana dengan diri kita? Menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga ibadah yang wajib ini. Siapa saja yang meremehkannnya, maka dia akan lebih meremehkan lagi kewajiban-kewajiban dalam Islam yang lainnya.
Hal-hal yang bisa menjadi sebab melalaikan shalat Subuh berjamaah di jaman ini sangatlah banyak dan beragam. ‘Umar bin Khaththab mencela sahabatnya yang tertinggal shalat Subuh berjamaah, padahal sebabnya adalah karena begadang shalat malam. Lalu, apa yang akan dikatakan ‘Umar bin Khaththab kepada kita yang begadang karena sibuk dengan perkara haram dan -minimal- perkara yang sia-sia?
Bagaimana pendapat ulama yang mulia tentang orang-orang yang menyibukkan diri dalam Islam, namun bertujuan untuk mewujudukan ambisi (keinginan) pribadi?
Jawaban:
Islam adalah agama kebenaran sebagaimana yang telah diketahui (telah dikenal), walillahil hamd (segala puji hanya milik Allah Ta’ala). Sebagaimana firman Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Al-Baqarah [2]” 119)
Agama Islam itu lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih unggul, lebih dari sekedar dijadikan sebagai sarana untuk meraih ambisi (keinginan) pribadi (yang bersifat duniawi, pent.). Setiap orang yang mengklaim bahwa dia adalah penolong dan pembela Islam, wajib baginya untuk membuktikan ucapannya itu dengan perbuatannya, sehingga jelaslah bahwa klaimnya tersebut adalah klaim yang jujur. Hal ini karena orang-orang munafik pun mengabarkan (mengklaim) bahwa mereka berpegang teguh dengan Islam setiap kali mereka mendengar seseorang mempertanyakan apakah mereka itu orang yang beriman.
“Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.”
“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munaafiquun [63]: 1-4)
Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang menjadikan Islam ini hanya sebagai sarana untuk meraih ambisi pribadinya, yaitu menjadikan Islam ini sebagai sarana untuk meraih tujuan-tujuan yang bersifat duniawi. Bahkan wajib baginya untuk berpegang teguh dengan Islam untuk meraih buah yang mulia, di antaranya adalah kemuliaan dan kejayaan di dunia, sebelum pahala di akhirat kelak.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur [24]: 55)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)