Rabu, 22 Januari 2025

Peran Guru PAI Dalam Pembentukan karakter Siswa Islami

 Islam adalah ajaran yang membentuk kepribadian Muslim secara utuh, mencakup nilai-nilai iman, takwa, kejujuran, keadilan, kesabaran, kecerdasan, kedisiplinan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab. Melalui pendidikan agama Islam, diupayakan internalisasi nilai-nilai tersebut agar mampu menciptakan individu Muslim yang memiliki karakter unggul.


Saat ini, kehidupan manusia dipengaruhi oleh perkembangan informasi, globalisasi, demokrasi, dan hak asasi manusia, serta tantangan seperti meningkatnya jumlah penduduk dan terbatasnya sumber daya ekonomi. Situasi ini menciptakan persaingan yang ketat, termasuk di bidang pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam, yang diharapkan dapat menjawab tantangan masa depan.


Pembentukan karakter dalam sistem pendidikan mencakup proses mengintegrasikan nilai-nilai perilaku ke dalam diri siswa, yang dilakukan secara bertahap dan saling berkaitan antara pengetahuan, sikap, dan tindakan. Karakter ini meliputi hubungan siswa dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, bangsa, dan negara.


Guru pendidikan agama Islam memiliki peran penting dalam membentuk karakter siswa. Guru agama menjadi figur teladan yang ditiru oleh siswa dan memiliki tanggung jawab besar dalam menerapkan nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah. Dalam perannya, guru tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebaikan yang didasarkan pada ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.


Untuk membentuk karakter siswa, guru pendidikan agama Islam perlu mengenal siswanya secara mendalam. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan perilaku dan pemahaman siswa sejak awal proses pembelajaran, mengetahui kemampuan serta pengalaman mereka, dan memahami konteks nyata yang dihadapi siswa. Pemahaman ini menjadi dasar dalam merancang metode dan tujuan pembelajaran.


Sebagai pendidik, guru memiliki tanggung jawab besar untuk merealisasikan nilai-nilai spiritual, emosional, moral, sosial, dan intelektual dalam pembelajaran. Guru harus mandiri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran dan pengembangan kompetensi siswa, serta mampu bertindak secara tepat dan bijaksana sesuai kebutuhan siswa dan kondisi lingkungan.


Dalam pembelajaran, guru pendidikan agama Islam berusaha menanamkan nilai-nilai moral dan tanggung jawab, misalnya dengan memberikan motivasi kepada siswa, mengajarkan pentingnya kebersihan lingkungan, memberikan konsekuensi atas keterlambatan, serta mendorong kerjasama dan kepemimpinan dalam tugas kelompok. Guru juga memberikan teladan dalam berbagai aspek, seperti datang tepat waktu, berpakaian rapi, dan menjaga tingkah laku yang sopan.


Selain itu, guru berupaya menciptakan suasana pembelajaran yang santai dan menyenangkan, namun tetap menanamkan karakter baik. Guru berperan sebagai figur yang dihormati dan diikuti, yang mampu memberikan contoh nyata kepada siswa, baik dalam pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Dengan cara ini, guru pendidikan agama Islam menjadi ujung tombak keberhasilan pembentukan karakter siswa, menciptakan generasi yang berakhlak mulia, cerdas, dan bertanggung jawab.










Konsep Akhlakul Karimah Sebagai Solusi Mengatasi Catcalling

 Catcalling atau ejekan seksual di tempat umum sudah menjadi sesuatu yang familiar saat ini. Hal tersebut telah menjadi masalah yang serius dan kompleks di masyarakat. Tindakan ini jelas-jelas melanggar kehormatan dan privasi orang lain. Catcalling melibatkan penggunaan kata-kata yang tidak pantas dan berunsur seksual, seperti "Cantik banget sih mau kemana", "Dek, mau abang temani gak?", "Wuih gede banget", "Sendiri aja neng", dan masih banyak lagi. Entah apa yang ada di pikiran pelaku,  mungkin merasa bangga dan keren padahal hal tersebut hanya membuatnya menunjukkan kualitas dirinya yang rendah. Karena kalimat-kalimat tersebut tidak pantas dilontarkan dan tentunya hal itu juga membuat korban merasa risih.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual verbal. Efek negatifnya yaitu, korban akan kehilangan kepercayaan diri bahkan hingga trauma. Terlepas dari niat pelaku, tindakan catcalling tetap merupakan bentuk pelecehan yang tidak dapat dibenarkan. Korban catcalling tidak perlu merasa bersalah atau malu karena tindakan tersebut sepenuhnya adalah kesalahan pelaku. Mirisnya, mahasiswa juga terlibat dalam melakukan catcalling. Padahal seharusnya mahasiswa merupakanorang yang terpelajar dan dapat memberikan contoh kepada masyarakat. Maka, bagaimana dengan mereka yang tidak berpendidikan?


Di Belanda, catcalling terhitung sebagai perbuatan kriminal dan pelaku bisa dikenakan denda sebesar 8.200 Euro (Sekitar Rp. 130 juta) atau dipidana tiga bulan penjara. Sementara itu di Prancis, melarang laki-laki untuk melakukan catcalling. Catcalling adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas keamanan dan privasi. Catcalling bukan hanya melanggar norma-norma tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar akhlakul karimah.


Islam telah mengajarkan kepada umatnya untuk memiliki akhlakul karimah atau akhlak yang baik. Dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai prinsip, maka tindakan catcalling tidak akan ada di dunia ini. Akhlakul karimah bukan hanya tentang agama, tetapi tentang kemanusiaan. Karena pada dasarnya, konsep akhlakul karimah mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti hubungan dengan Allah SWT dengan iman yang kuat dan taat beribadah, hubungan dengan diri sendiri dengan menjaga kebersihan jiwa dan raga, serta hubungan dengan sesama manusia dengan saling menghargai dan menghindari perbuatan yang menyakiti hati orang lain.


Oleh karena itu, salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi catcalling adalah konsep akhlakul karimah, yang menekankan pentingnya perilaku yang baik, sopan, dan santun dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Mari jadikan prinsip ini sebagai pedoman dalam berinteraksi dengan siapapun, sehingga terciptalah lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua.


Karena catcalling bukan pujian, melainkan pelecehan seksual yang merendahkan martabat perempuan.










Islam Sebagai Agama, Bukan Identitas

 Home Profil Informasi Bantuan Program Unggulan Siaga Lintas DAI Cendikia Space PK Online Silaba PAI

Artikel

 Versi Audio

Islam Sebagai Agama, Bukan Identitas


Raden Wahid Ibrahim 

Kontributor

Senin, 18 Maret 2024 | 11:36 WIB


Oleh : Sudarjat,M.Pd. (Guru PAI SMA N 1 Cijeruk, Tim Pusat PPKB GPAI)

Agama berasal dari bahasa Sansekerta, a dan gama, artinya tidak kacau. Dari arti bahasa tersebut dapat dimaknai bahwa agama adalah penataan atau tata aturan agar rapi dan tidak kacau. Menurut etimologi dalam kamus besar bahasa Indonesia agama didefinisikan sebagai sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan amtara manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya. Dalam tradisi islam, agama disebut dengan “ad-din” yang dapat diartikan sebagai tatanan atau aturan hidup.


Berdasar pada definisi tersebut, maka agama sebenarnya bukan hanya tentang identitas, tetapi lebih kepada tata aturan hidup sesuai dengan cita-cita yang mengajarkannya. Agama lahir dari kebutuhan manusia yang bersifat sosial dan tidak bisa hidup sendiri. Diperlukan kebutuhan akan sebuah aturan untuk dijalankan secara bersama-sama sehingga terwujud kehidupan bahagia dan harmonis.


Kepercayaan manusia terhadap tuhannya akan melahirkan sistem aturan yang sesuai dengan keyakinannya. Hal ini tergambar dalam perbedaan ritual dari masing-masing agama. Sebuah agama akan selalu berisi tentang tiga hal penting, yaitu keyakinan (keimanan), ritual (syariat), dan akhlak (ihsan/kebajikan). Dalam Islam tergambar dalam hadits tentang agama yang menyatukan 3 hal sebagai rukun agama, iman, islam, dan ihsan. Iman sebagai sebuah keyakinan, Islam sebagai sebuah pembinaan, dan ihsan sebagai sebuah tujuan.


Islam menurut bahasa artinya pasrah atau berserah diri. Islam sebagai sebuah agama adalah tata aturan untuk menjadikan pemeluknya pasrah diatur oleh Allah dan rasulNya. Maka dari itu, seorang muslim berarti adalah orang yang hidupnya pasrah diatur oleh Allah dan rasulNya. Setiap gerak langkahnya tegak lurus terhadap aturan Allah dan rasulNya.


Dalam mewujudkan tatanan Islam, rasulullah bersabda, “Islam dibina/dibangun diatas lima hal, yaitu bersyahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan dan berhaji ke baitullah jika mampu”. Hadits inilah yang kemudian menjadi dasar ulama menetapkan rukun islam. Apa arti rukun? Rukun adalah sesuatu yang harus ada, jika tidak ada/tidak terpenuhi salah satunya maka dianggap tidak sah. Oleh karenanya, penetapan hadits ini menjadi rukun sepertinya perlu ditelaah lebih mendalam. Selain membiaskan maksud hadits yang sebenarnya, juga membuat hadits ini tidak memberikan makna apa-apa untuk umat islam.


Sejenak mari kita renungi konstruksi hadits tersebut jika diterjemahkan begini, “Islam dibina di atas lima perkara, yaitu engkau berikrar akan membuktikan bahwa tidak ada ilah/tuhan (yang menjadi sembahan/ditaati) selain Allah/tuhan sejati, dan akan membuktikan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (yang menjadi contoh/tauladan hidup saya), mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke baitullah jika mampu”.


Rukun Islam adalah sebuah metode pembinaan seseorang untuk menjadi Muslim, yaitu seseorang yang memasrahkan hidupnya diatur oleh Allah dan rasulnya. Kelima rukun tersebut bersifat hirarkis.


Untuk menjelaskan tentang lima metode seseorang menjadi muslim, perlu jelas dulu apa definisi muslim. Selama ini kita memahami bahwa muslim adalah seseorang yang mengaku memiliki identitas agama islam. Padahal jika merujuk pada keterangan dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah tidak membeda-bedakan ajaran para rasulNya, bahkan nabi Ibrahim disebutkan Al-Quran sebagai muslim yang hanif. Kehanifannya itulah kemudian yang diingatkan oleh rasulullah Muhammad dalam shalawat ibrahimiyah yang dibaca setiap kali shalat. “Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad, kama shollaita ‘ala Ibrohim wa’ala aali Ibrahim”. Ini menarik untuk dikaji, kenapa rasulullah memilih Ibrahim tidak nabi-nabi yang lain? Itu semua karena kita mengetahui bahwa hanya nabi Ibrahim yang rela menyembelih anaknya untuk dipersembahkan pada Allah.


Islam sebagai agama (din) adalah tatacara hidup seseorang yang pasrah diatur oleh Allah dan rasulNya. Akhirnya seorang muslim berarti adalah seseorang yang memasrahkan hidupnya diatur oleh Allah dan rasulNya. Untuk menjadi seorang muslim, seseorang dilatih dengan lima latihan.


Pertama, syahadat. Berjanji akan membuktikan (menjadi saksi) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang ditaati selain Allah dan akan membuktikan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Selama ini, syahadat yang kita ucapkan seakan-akan tidak memiliki makna apapun ketika meluncur dari mulut. Padahal dahulu kala, seseorang yang sudah mengucapkan syahadat rela mati untuk mempertahankannya. Ini terjadi karena pembiasan makna dari syahadat yang awalnya adalah bai’at masuk Islam menjadi hanya ucapan tanpa kita mengerti apa sebenarnya yang kita ucapkan. Makna syahadat yang menggetarkan ketika kita mengucapkannya adalah “saya akan menjadi saksi (membuktikan) bahwa tidak ada tuhan (yang disembah, diikuti, ditaati, ditakuti) selain Allah, dan saya akan menjadi saksi (membuktikan) bahwa Muhammad adalah utusan Allah (menjadi contoh dalam setiap perilaku saya)


Kedua, shalat. Shalat adalah latihan memasrahkan kepemilikan diri dan waktu untuk siap diatur oleh Allah. Dalam shalat kita melatih diri pasrah dengan aturan Allah dan rasulNya meliputi waktu dan perilaku kita yang terdiri dari gerakan dan ucapan. Waktu, ucapan dan gerakan shalat yang kita lakukan persis sesuai dengan yang dicontohkan, tidak bisa kita ngarang-ngarang sendiri waktunya, ucapannya atau gerakannya. Inilah latihan lavel dua yang merupakan tiang dari agama.


Latihan rutin, semakin pasrah waktu, ucapan, gerakan shalat kita sesuai yang diatur oleh Allah dan rasulnya semakin tegaklah islam (kepasrahan) dalam diri kita. Maka sebenarnya shalat kita menunjukkan seberapa muslim kita. Shalat berjamaah awal waktu adalah proses awal pembinaan kepasrahan kita pada aturan Allah, dilanjutkan dengan pemahaman kita akan setiap gerakan dan bacaan yang penuh dengan simbol dan sastra. Sehingga akhirnya sampailah kita pada posisi assholatu mi’rajul mukminin, shalat adalah mikrajnya orang-orang mukmin, menikmati shalat sebagaimana kisah Ali bin Abi Thalib yang dicabut panah dari punggungnya di waktu shalat, penuh kekhusuan dan kenikmatan.


Ketiga, zakat. Pembinaan tahap selanjutnya adalah memasrahkan kepemilikan kita terhadap harta dengan mengeluarkan zakat. Setelah kita mampu memasrahkan waktu, ucapan dan gerak kita siap diatur Allah, selanjutkan kita membina diri dengan mengeluarkan sesuatu yang sudah kita dapatkan. Ini level lebih berat dibanding shalat, karena harta sudah masuk dalam perangkap milik. Harta kita cari dengan susah payah, lalu Allah bilang keluarkanlah hartamu. Disinilah diuji lagi kepasrahan kita terhadap keakuan dan kepemilikan. Semakin kita terlepas dari keterikatan terhadap kepemilikan, semakin meningkatlah kualitas keislaman kita.


Keempat, puasa ramadhan. Puasa ramadhan adalah ritual/latihan menjadi muslim pada level lebih berat dari zakat. Pada level ini kita menyerahkan jiwa raga untuk ikut aturan Allah dengan puasa. Selama sebulan kita melatih diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks, tidak berbuat maksiat, tidak mendzalimi orang lain dan ditutup dengan mengeluarkan zakat fitrah. Puasa ramadhan melatih jiwa raga kita untuk pasrah dengan aturan, tidak makan sebelum magrib, kita ikuti walaupun terbuka kesempatan untuk berbuka kapan saja, tapi kita bertahan demi menunjukkan ketaatan/kepasrahan kita kepadaNya.


Kelima, Haji. Level selanjutnya adalah haji. Dengan haji kita meninggalkan seluruh kepemilikan kita terhadap duniawi untuk menghadap Allah. Hanya kain ihram tidak berjahit yang dipakai melambangkan kain kafan. Suami, istri, anak, cucu, harta, jabatan, kampung halaman, semua kita tinggalkan untuk menuju Allah. Dalam proses ritualnya pun, sangat menguras tenaga, rela mati di jalan Allah. Maka wajar kemudian rasulullah menyebutkan jika mampu. Ini artinya, jika kalian mampu lepaskan semua selain Allah, itulah haji.


Akhirnya, rukun islam sebagai tirakat/pembinaan/pembiasaan untuk hidup pasrah pada aturan Allah dan rasulNya menjadi indikator kualitas keislaman kita. Semakin kecil peran kita dalam mengatur ritual-ritual tersebut, akan semakin meningkat kualitas keislaman kita. Maka dari sini, jelaslah antara Islam sebagai identitas dan sebagai agama. Semoga Allah mengampuni jika ada tulisan ini yang tidak sesuai dengan harapanNya. Amin.









Iduladha

 Iduladha (bahasa Arab: عيد الأضحى) adalah sebuah hari raya dalam agama Islam. Hari ini memperingati peristiwa kurban, yaitu ketika Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan putranya Isma'il sebagai wujud kepatuhan terhadap Allah. Sebelum Ibrahim mengorbankan putranya, Allah menggantikan Ismail dengan domba. Untuk memperingati kejadian ini, hewan ternak disembelih sebagai kurban setiap tahun.







Istidraj

 Istidraj (bahasa Arabالاستدراجtranslit. al-Istidraj) adalah istilah dalam Islam yang merujuk pada pemberian kenikmatan duniawi kepada seseorang yang terus-menerus bermaksiat kepada Allah. Istidraj bukanlah bentuk rahmat atau kasih sayang, melainkan cara Allah menunda hukuman kepada mereka yang mengabaikan perintah-Nya, sehingga mereka semakin jauh dalam kelalaian. Istidraj disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits sebagai peringatan bagi umat manusia agar tidak tertipu oleh kenikmatan dunia.







Menjaga Shalat Subuh Berjamaah

 “Iya, tidak ada bagian dari Islam bagi orang-orang yang meninggalkan shalat.”


Al-Miswar berkata,


فَصَلَّى عُمَرُ، وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَماً


“Kemudian ‘Umar pun berdiri dan shalat Subuh, dalam kondisi luka yang meneteskan darah.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 51, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 209)


Allahu Akbar! Betapa besar kedudukan shalat Subuh berjamaah dalam hati sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Sehingga beliau pun sungguh-sungguh menjaganya. Beliau menjaganya dalam kondisi dan waktu apapun, baik itu ketika sedang menghadapi musuh, dalam barisan jihad, dan meskipun beliau dalam kondisi terluka dan masih meneteskan darah.


Lalu, bagaimana dengan diri kita? Menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga ibadah yang wajib ini. Siapa saja yang meremehkannnya, maka dia akan lebih meremehkan lagi kewajiban-kewajiban dalam Islam yang lainnya.


Hal-hal yang bisa menjadi sebab melalaikan shalat Subuh berjamaah di jaman ini sangatlah banyak dan beragam. ‘Umar bin Khaththab mencela sahabatnya yang tertinggal shalat Subuh berjamaah, padahal sebabnya adalah karena begadang shalat malam. Lalu, apa yang akan dikatakan ‘Umar bin Khaththab kepada kita yang begadang karena sibuk dengan perkara haram dan -minimal- perkara yang sia-sia?






Menjadikan Islam sebagai Sarana Meraih Dunia

 Pertanyaan:


Bagaimana pendapat ulama yang mulia tentang orang-orang yang menyibukkan diri dalam Islam, namun bertujuan untuk mewujudukan ambisi (keinginan) pribadi?


Jawaban:


Islam adalah agama kebenaran sebagaimana yang telah diketahui (telah dikenal), walillahil hamd (segala puji hanya milik Allah Ta’ala). Sebagaimana firman Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,


إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيراً وَنَذِيراً


“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Al-Baqarah [2]” 119)


Agama Islam itu lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih unggul, lebih dari sekedar dijadikan sebagai sarana untuk meraih ambisi (keinginan) pribadi (yang bersifat duniawi, pent.). Setiap orang yang mengklaim bahwa dia adalah penolong dan pembela Islam, wajib baginya untuk membuktikan ucapannya itu dengan perbuatannya, sehingga jelaslah bahwa klaimnya tersebut adalah klaim yang jujur. Hal ini karena orang-orang munafik pun mengabarkan (mengklaim) bahwa mereka berpegang teguh dengan Islam setiap kali mereka mendengar seseorang mempertanyakan apakah mereka itu orang yang beriman.


Sebagaimana firman Allah Ta’ala,


إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ


“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.”


Kemudian Allah Ta’ala mengatakan,


وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّهُمْ سَاء مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ


“Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.”


Sampai dengan firman Allah Ta’ala,


وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِن يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ


“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munaafiquun [63]: 1-4)


Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang menjadikan Islam ini hanya sebagai sarana untuk meraih ambisi pribadinya, yaitu menjadikan Islam ini sebagai sarana untuk meraih tujuan-tujuan yang bersifat duniawi. Bahkan wajib baginya untuk berpegang teguh dengan Islam untuk meraih buah yang mulia, di antaranya adalah kemuliaan dan kejayaan di dunia, sebelum pahala di akhirat kelak.


Allah Ta’ala berfirman,


وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ


“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur [24]: 55)


Allah Ta’ala juga berfirman,


مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ


“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)






Mari Berlomba Meraih Shaf Pertama

 Shalat berjamaah adalah ibadah yang sangat agung. Tentunya seseorang berharap akan mendapat pahala yang maksimal dalam melaksanakan ibadah ini. Salah satu yang penting untuk diperhatikan adalah berusaha untuk berada di shaf pertama. Terdapat keutamaan tersendiri bagi orang yang berada di barisan pertama dalam shalat berjamaah.


Keutamaan Shaf Pertama


Terdapat dalil-dali yang menunjukkan keutamaan shaf pertama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ اْلأُوَلِ


“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang shalat di shaf pertama.” (HR. Abu Dawud, shahih)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :


لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إلاَّ أنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا


“Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang terdapat pada adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidaklah akan medapatkannya kecuali dengan diundi, niscaya pasti mereka akan mengundinya.“ (HR. Muslim)


Hadits ini menunjukkan adanya keutamaan dan pahala khusus pada shaf pertama, dan bolehnya undian untuk mendapatkannya jika diperlukan.


Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :


خيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا ، وَشَرُّهَا آخِرُهَا ، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا ، وَشَرُّهَا أوَّلُهَا


“Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jelek adalah yang paling depan.“ (HR. Muslim)


Hadits ini menunjukkan keutamaan shaf pertama bagi laki-laki. Hal ini juga menunjukkan bahwa amal itu bertingkat-tingat yang sekaligus juga menunjukkan bahwa pelaku amal bertingkat-tingkat






Adakah Anjuran Puasa Tujuh Hari di Awal Rajab?

 Seseorang boleh saja berpuasa di bulan Rajab sebagaimana berpuasa pada bulan lainnya, seperti melakukan puasa Senin-Kamis, puasa Ayyamul Bidh (13, 14, 15 Hijriyah), puasa Daud (sehari berpuasa, sehari tidak).


Namun bagaimana dengan motivasi puasa di bulan Rajab secara khusus? Adakah tuntunannya? Di antaranya, ada anjuran puasa tujuh hari di awal Rajab.


Hadits Puasa Rajab


Ada beberapa hadits yang menganjurkan beberapa puasa di bulan Rajab, contohnya:


Pertama:


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إن في الجنة نهرا يقال له رجب أشد بياضا من اللبن و أحلى من العسل من صام من رجب يوما سقاه الله من ذلك النهر


“Sesungguhnya di surga ada sebuah sungai, namanya sungai Rajab. Airnya lebih putih dari pada salju, lebih manis dari pada madu. Siapa yang puasa sehari di bulan Rajab, maka Allah akan memberinya minum dengan air sungai tersebut.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, no. 3800, 3: 367. Ibnul Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Muntanahiyah, no. 912 menyatakan bahwa hadits ini tidak shahih, di dalamnya ada perawi majhul yang tidak jelas siapa mereka)


Kedua:


رجب شهر عظيم يضاعف الله فيه الحسنات فمن صام يوما من رجب فكأنما صام سنة ومن صام منه سبعة أيام غلقت عنه سبعة أبواب جهنم ومن صام منه ثمانية أيام فتح له ثمانية أبواب الجنة ومن صام منه عشر أيام لم يسأل الله إلا أعطاه ومن صام منه خمسة عشر يوما نادى مناد في السماء قد غفر لك ما مضى فاستأنف العمل ومن زاد زاده الله


“Bulan Rajab adalah bulan yang agung, Allah akan melipatkan kebaikan pada bulan itu. Barang siapa yang berpuasa satu hari pada bulan Rajab, maka seakan-akan ia berpuasa selama satu tahun. Barang siapa yang berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka akan ditutup tujuh pintu api neraka jahanam darinya. Barang siapa yang berpuasa delapan hari pada bulan itu, maka akan dibukakan delapan pintu surga baginya. Barang siapa yang berpuasa sepuluh hari dari bulan Rajab, maka tidaklah Allah dimintai apa pun kecuali Allah akan memberinya. Barang siapa berpuasa lima belas hari pada bulan Rajab, maka ada yang memanggil dari langit, ‘Engkau telah diampuni dosamu yang telah lampau.’ Mulailah amal, siapa yang terus menambah, maka akan terus diberi pahala.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 5538 dari jalur ‘Utsman Ibnu Mathor Asy-Syaibani, dari ‘Abdul Ghafur yaitu Ibnu Sa’id, dari ‘Abdul ‘Aziz bin Sa’id dari bapaknya. Hadits ini dikatakan oleh Syaikh Al-Albani sebagai hadits maudhu’ atau palsu karena adanya ‘Utsman bin Mathar. Ibnu Hibban menyatakan bahwa ia meriwayatkan hadits-hadits palsu. Syaikh Al-Albani memasukkan hadits ini dalam kumpulan hadits lemah, dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, no. 5413, 11: 692)






Manfaat Membaca Surah Al-Baqarah di Rumah

 Membaca Surah Al-Baqarah di rumah memiliki keutamaan yang besar dalam Islam, salah satunya adalah mengusir syaithan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan Surah Al-Baqarah, menjadikan rumah tersebut penuh berkah dan perlindungan.


dari Kitab Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)


ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ


Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1018


ِعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ؛ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ البَقَرَةِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menjadikan rumah kalian bagaikan pekuburan. Sesungguhnya syaithan lari (benar-benar berpaling) dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 780]


Faedah hadits


Larangan bagi orang hidup untuk menyerupai orang yang telah mati, karena orang mati tidak dapat mengambil manfaat, hukum-hukum, peringatan yang terkandung di dalam surah Al-Baqarah.

Syaithan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah, ia tidak akan mendekatinya malam itu.

Penjelasan mengenai keutamaan surah Al-Baqarah.

Shalat di pekuburan diharamkan.

Tidak boleh menguburkan mayat di dalam rumah secara mutlak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjadikan rumah sebagai kuburan. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikuburkan di rumah Aisyah adalah kekhususan syariat untuk beliau saja.

Membaca Surah Al-Baqarah di rumah bukan hanya menjadi sumber keberkahan, tetapi juga menjadi benteng perlindungan dari gangguan syaithan. Sebagai seorang Muslim, menjaga amalan ini dapat menjadikan rumah kita senantiasa diberkahi dan terhindar dari segala keburukan. Semoga kita semua dapat istiqamah dalam mengamalkannya, sehingga rumah kita selalu dipenuhi dengan cahaya iman dan ketenangan.






Peran Guru PAI Dalam Pembentukan karakter Siswa Islami

 Islam adalah ajaran yang membentuk kepribadian Muslim secara utuh, mencakup nilai-nilai iman, takwa, kejujuran, keadilan, kesabaran, kecerd...